09 Juni 2022

Cinta Ujian Awal Iman (CERPEN)

 

Tokoh                :    Fatimah Wardoyo

Penokohan        :    Seorang yang Egois, Tidak Pernah Mengamal Agamanya, Menjadi Muslimah Yang Sebenarnya 

Alur Cerita         :    Seorang gadis yang egois yang tidak pernah menjalankan perintah agamanya. Kemudian dia sadar apa yang dilakukan selamanya ini ternyata salah. Dia mulai belajar memahami agamanya (Islam) dan mulai melakukan kewajibannya sebagai seorang muslimah. 


Cinta Ujian Awal Iman

Aku terlahir dengan nama Fatimah Wardoyo yang beragama Islam. Islam yang indah. Hanya saja aku tak menyadarinya. Islam tak pernah menjauhiku, tapi aku yang menjauhinya. Aku bersyukur Allah masih membiarkan napas ini berhembus. 5 bulan sebelumnya, liburan sekolah selama satu bulan saat bulan puasa. Liburan yang ku habiskan di rumah nenek di Bukittinggi karena ayah pergi ke Kanada. Hidayah yang masuk ke dalam diriku usai acara tausiyah untuk remaja di Mesjid Agung yang awalnya aku ikuti dengan paksa karena ingin memperoleh handphone baru dari nenek tercinta. 

Dilihat dengan tatapan tajam oleh para santri yang lainnya karena aku tak memakai jilbab layaknya mereka. Enjoy dan percaya diri ternyata membuatku masa bodoh dengan tatapan tajam yang seperti ingin menerkam. Acuh tak acuh dan perlahan-lahan hatiku mulai menghadap ke arah pembicaraan saat aku mendengar kata “Bunda,” Tanpa sadar, air mata membasahi pipiku. Ternyata kata-kata Pak Ustadz mampu menghipnotis dan merasuki kalbuku. Aku yang awalnya berpikir Allah tak adil, justru aku yang egois. Dia hanya mengambil apa yang menjadi hak-Nya. Bunda adalah milik Allah.

Aku tersentak dari perjalananku yang sudah ku jalani dengan zig-zag. Bagaimana aku bisa terlena dengan dunia fatamorgana, sementara akhirat sana, aku akan kekal di dalamnya. “Kamu Fatimah, kan?” Seseorang bertanya kepadaku saat jadwal pulang setelah acara itu. Aku masih duduk di teras mesjid. Termenung dan mengingat begitu banyaknya dosa yang sudah mengiringi setiap napasku. Perkataan Pak Ustadz terngiang dalam benak ini.

“Kamu Fatimah, kan? Dia mengulanginya lagi.” Aku segera tersadar dari lamunanku. “Iya. Ada apa? Mau minta nomor handphone, ya?” Percaya diri membuatku yakin berkata seperti itu, karena biasanya itu yang terjadi di sekolah. Dia tersenyum kepadaku. Senyumnya membuat udara berbunga-bunga seperti hujan kembang. Dia seorang laki-laki tampan. “Maaf, tapi aku hanya ingin memberi saran. Lain kali jika kamu ke mesjid, seorang perempuan hendaklah menutup kepalanya. Apa kamu mualaf?” Dia bertanya padaku dengan tampang tak yakin.

Senyumku hilang. Aku langsung tertunduk. Agamaku Islam semenjak aku dalam kandungan. Rasa yang berlebihan padanya segera hilang dan tumbuh rasa malu yang sangat dalam. Dia berkata benar. Aku berlari pulang ke rumah nenek tanpa memberi laki-laki itu jawaban. Penyesalan yang tiada guna menghampiriku. Nenek bilang ini semua belum terlambat untuk dimulai. Air mata basahi pipiku. Aku ingin kembali ke jalan yang sepatutnya ku jalani. Secara diam-diam aku belajar tentang agamaku. Aku malu, perempuan yang ber-tittlekan Islam sejak lahirnya, ternyata tak pernah dekat dengan agamanya.

Kenangan 5 bulan yang lalu di rumah nenek, tertutup untuk sementara. Aku harus segera bergegas ke sekolah. Berdiri di depan kaca dan menatap diriku sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Berbeda seperti sebelumnya. Aku memakai rok panjang, bukan rok selutut lagi dan seragam yang berlengan panjang juga. Aku pegang kepalaku. Kepala ini selalu ku junjung ke mana pun dan kapan pun. Kosong tapi terasa berat. Akal bernaung di dalamnya. Akal yang diberikan-Nya untuk penyempurna manusia. Manusia ternyata begitu angkuh, sudah diberi tapi tak tahu terima kasih. Rambutku terjuntai yang terbuka, selama ini aku bangga dengan rambut ini.

Aku memejamkan mataku. Ya Allah, aku melakukan semua ini tulus dari hatiku mengharapkan keridhaanmu. Terpasang sudah jilbab indah yang menghiasi kepalaku. Ternyata berhijab, bukannya merasa risih justru merasa damai dalam hati. Pantas saja orang-orang yang bergelar muslimah, selalu bangga memakai jilbabnya. Ada kedamaian dalam setiap angin yang berhembus. Ada cinta yang mengudara dan kebahagiaan yang mengiringi setiap hembusan napas.

Pagi yang cerah tapi aku ragu untuk ke sekolah dengan seragam ini. Apa semua teman akan mencemoohku? Hanya sebentar keraguan itu mengendap, tak lama kemudian aku mantap untuk menghadapi apa pun yang terjadi nantinya. Allah bersamaku. Sesampainya di sekolah, semuanya melongo melihatku. Salahkah aku berhijab? Aku tak ingin tetap di masa jahiliyahku. Aku pun ingin dekat dengan Tuhanku. Ingin merasakan kedamaian Islam. Ingin mendapatkan ketenangan bathin yang dulu sulit ku dapatkan.

“Ini benar kamu, Fatimah?” Halimah menatapku dengan tampang tak yakin. Aku pun duduk di sampingnya dan balik menatapnya. “Ya ini aku, Fatimah Wardoyo. Mulai hari ini aku memutuskan untuk berhijab. Tapi ini bukan karena hasutan kamu atau siapa-siapa. Ini tulus dari hatiku. Aku ingin menjadi muslimah sejati. Ingin menemukan arti Islam yang sesungguhnya dalam hidupku,” Jelas Halimah tercengang melihatku. 

Jika ku ingat masa laluku, malu rasanya aku pada diri sendiri. Setiap mengisi identitas tentang agama, aku selalu menuliskan agama Islam. Tapi nyatanya, salat tak pernah aku kerjakan. Auratku terbuka dan kebiasaan burukku yang dulu. Hal itu kerap membuatku tak adanya waktu untuk mengingat Allah. Aku tak ingin mengulanginya lagi. Namun, tak semudah ini untuk bermetamorfosis menjadi perempuan saleha. Ini baru tahap awal. Perjuanganku baru dimulai. Dari kejauhan Aidil datang menuju ke arahku. Tak sengaja ku tatap Aidil yang kini berada di depan pandangan dan menatapku aneh. Mataku beradu pandang dengannya. Hatiku langsung berdetak kencang. Aku takut sikapnya akan berubah saat dia tahu kalau aku sudah berhijab. Tidak boleh khawatir. Kata-kata ini selalu aku senandungkan dalam hati.

“Seorang perempuan saleha harus bisa menjaga matanya. Tidak boleh menatap yang bukan muhrimnya seperti itu,” Halimah membuyarkan pandanganku sambil tersenyum. Rasanya suasana hari ini begitu kaku antara aku dan Aidil. Padahal aku sudah lama mengenal dirinya. Segera aku alihkan pandanganku dari matanya. Astagfirullah. “Aku ke perpustakaan dulu,” Langsung ku ambil langkah seribu meninggalkan Aidil dan Halimah. “Bukannya perpustakaan di sana?” Halimah menunjuk ke arah yang berlawanan. Aku berbalik arah dan tak mampu untuk melihat ke belakang. “Fa, nanti pulang jalan kaki bareng aku!” Teriak Aidil dari jauh yang masih sanggup ku dengar.

Dulu, momen seperti ini kami lalui dengan tawa dan bergandengan sepanjang perjalanan. Kini, langkah-langkah kaki pertama antara aku dan Aidil hanya ada keheningan yang tercipta. Tak biasanya seperti ini. Aku pun canggung menghadapi kondisi ini. “Kamu cantik hari ini.” Sepatah kalimat yang mencairkan suasana yang beku ini membuatku tersipu. “Apa itu artinya kamu setuju aku berhijab?” Aku bertanya sambil menunduk. Demi menjaga pandanganku. “Iya. Bahkan tadi aku hampir tidak mengenalimu. Sebenarnya aku suka perempuan berhijab. Pada umumnya perempuan berhijab itu tak hanya cantik dari luar, tapi juga cantik dari dalam. Makanya aku senang melihat kamu berhijab. Tapi mana mungkin seorang hijabers naksir laki-laki yang tidak salat seperti aku, kecuali kamu. Kamu kan sudah jadi takdir aku,”

“Ih apaan sih,” Aku tersipu malu akan ucapan Aidil. Kekhawatiranku akan dijauhi Aidil menghilang sudah. “Gimana hari-hari kamu selama 2 bulan di Korea. Kompetisinya gimana?” “Semuanya hampa tanpa ada kamu. Aku ingat kamu terus,” “Gombal,” Aku memukulnya dengan tasku. 

Aku melihatnya lagi. Dia mengepalkan tangannya. Pastinya bukan karena ingin meninju orang sebaik aku. Seperti ada yang ingin diungkapkan, tapi aku tak tahu apa. Menunggu dan sedikit diam, mungkin itu lebih baik. “Kamu mau gak jadi pacarku?” ternyata benar dugaanku, ada yang ingin dikatakannya. “Jangan bercanda seperti itu lagi,” “Aku serius Fatimah. Rasa yang aku punya kini sudah melebihi rasa seorang sahabat. Aku suka sama kamu. Aku pun senang melihat perubahanmu,” “Apa yang membuatmu suka sama aku? Bukankah Halimah lebih cantik dariku dan dia juga sudah lama berhijab,”

“Aku suka sama kamu karena aku merasa nyaman bersamamu. Rasanya sepi bila menjalani hari tanpamu. Aku bukan gombal. Percayalah. Aku mencintai seorang perempuan, tidak hanya dari parasnya Fa. Aku mencintai kamu apa adanya. Aku sayang sama kamu.” Aidil berkata sambil menatapku, sedangkan aku hanya menunduk. Kini bimbang merasuki hatiku. Aku bingung harus berkata apa. Dulu memang, aku ingin kata-kata itu terucap dari mulut Aidil. Tapi kini, aku hanya ingin memendam perasaan ini. Aku tak ingin usaha yang telah ku lakukan untuk menjadi perempuan saleha ini gagal dan ternoda.

“Maaf, tapi tidak tahukah kamu bahwa dalam Islam itu, pacaran adalah zina. Ustadz Mahmud memberitahuku seperti itu,” “Tapi kita tidak berbuat zina,”
 “Tetap saja tidak boleh. Lagi pula pengecualianmu itu salah. Aku tidak suka laki-laki yang tidak salat, sekali pun itu kamu. Bagaimana nanti kamu bisa jadi imam buat istrimu, kalau kamu sendiri tidak salat. Lalu, apa aku yang harus jadi imam? Kamu yang pakai mukena dan aku yang paki sarung, begitu? Itu bukan lelucon. Perjalanan kita masih panjang. Belum saatnya memikirkan pacaran. Kita saja belum tamat SMA.” 

Aku berkata seperti orang bijak. Ucapanku membuat Aidil terdiam. Aku mulai  takut kalau dia tersinggung. “Tapi kamu bisa mengajariku. Aku juga ingin belajar dengan sempurna tentang agamaku. Hal yang tak pernah di ajarkan orangtuaku selama ini,” “Tidak dengan kita pacaran, Aidil. Walaupun kita hanya berteman, aku bisa memberitahumu apa yang aku tahu. Jika kamu ingin memperdalamnya lagi, kamu bisa belajar dengan teman yang lain,”

“Aku malu untuk minta diajarkan oleh teman yang lain. Ilmu ku tentang agama sendiri, benar-benar minim. Aku takut mereka akan tertawa saat mendengar aku mengaji dan yang lainnya,” Apa yang dipikirkan Aidil sama seperti yang aku pikirkan dahulu. “Maaf Aidil, aku tidak bisa untuk menjadi pacarmu saat ini,” “Itu artinya aku ditolak?”

“Sayang dan cintamu tidak pernah aku tolak. Aku juga sayang dan cinta padamu. Tapi hanya sekedar sebagai seorang sahabat. Tidak lebih Ai,” Aku membohongi perasaanku. Rasanya aku ingin menangis detik ini juga. Salahkah yang aku lakukan ya Allah? “Tolonglah dipikirkan sekali lagi,”
 “Maaf Ai. Bersahabat denganmu saja, sudah cukup Ai. Aku bangga punya sahabat sepertimu,” “Baiklah. Apa aku boleh tahu, apa yang membuatmu berubah seperti sekarang?”

“Aku tak ingin menjadi pembohong lagi. Aku ingin semua orang tahu, aku benar-benar seorang muslimah, bukan hanya identitas saja. Masalah yang ku miliki membuatku sadar, aku tak sendiri. Aku punya teman sebaik kamu dan orangtua yang sayang padaku, serta Allah yang menciptakanku. Kehilangan sosok yang aku sayang, sang Bunda tercinta membuatku sedih tak berkesudahan. Namun kini aku mengerti, bukan itu yang dibutuhkannya, tapi berharap doa dari anaknya. Aku yakin, Bunda pasti bangga kalau anaknya menjadi anak yang saleha,” Aku menangis mengingat kenanganku bersama Bunda. Dia sosok pahlawan hidupku yang telah pergi jauh. Jiwaku terasa sesak bila merindukannya. Langkahku terhenti. Aidil menghapus air mataku dengan tangannya. Aku segera menepis tangannya.

“Aku mohon, biarkan aku menghapusnya Fa,” “Tidak. Aku bisa menghapusnya sendiri. Sudahlah, aku masuk dulu ya. Kamu mau mampir?” Tak terasa aku sudah sampai di tujuan. “Lain kali saja, Fa. Ingat, jangan sedih lagi. Nanti matanya kayak panda, tambah jelek,” Ai mengusap kepalaku. Kebiasaannya yang susah untuk dihilangkan. “Dan ingat juga. Ini untuk terakhir kalinya kamu mengelus kepalaku seperti itu. Bukan muhrim,” Ingatku padanya lagi. “Iya. Aku pulang dulu, Fatimah,” Lambaian tangannya yang lemah menandakan dia sedang kecewa.

“Aidil,” “Apa?” Dia berbalik badan menghadapku. “Kamu tidak marah, kan? Kita masih best friends?” “Fatimah, aku bukanlah laki-laki egois ataupun pengecut yang hanya gara-gara permasalahan seperti tadi, aku memutuskan hubungan yang sudah aku jalin sama kamu selama ini. Itu hal yang biasa untuk laki-laki. Jangan khawatir, kamu tetap sahabatku. Aku menghargai keputusanmu sebagai seorang sahabatku. Namun detik ini biarkan aku kecewa sementara,”
 “Aidil, terima kasih untuk pengertianmu. Masalah kamu ingin belajar tadi, mungkin kita bisa belajar bersama Ustadz Mahmud. Aku sunggguh tidak ingin kamu membenciku,” “Terima kasih kembali sudah membantuku,” sebuah senyuman tercipta.

Azan isya sudah berkumandang. Usai berwudu, ku pasang mukena yang tadi ku beli. Nyaman rasanya berbalutan mukena ini. Bacaan salat yang ku pelajari berbulan-bulan lalu bersama ustad Mahmud, ku ucap dengan segenap hatiku. Selesai berzikir, terpanjatkan doa pada yang maha kuasa. Semoga keputusanku sudah tepat. Aku merasa beruntung mempunyai seorang sahabat yang bisa mengerti aku. Tak lupa pula doa untuk ayah dan bunda. Ku rasakan ketenangan, kedamaian, dan kepuasan batin dalam hidupku. Aku bersyukur Allah masih mengizinkanku untuk menyembahnya di dunia ini. Rasa syukur itu bergema dalam setiap napasku. Dia memberikan segala rahmatnya untukku. Jilbabku, agamaku, imanku membuat hidupku berubah. Berubah lebih baik untuk mengejar tujuan yang ada di depan.

Air Wudhu Aqila

Aqila azzahra begitu orang memanggilnya. Wajahnya nampak berseri, dengan gayanya yang sangat anggun membuatnya terlihat seperti bidadari surga. Bukan karena dia kaya, bukan karena make up tebalnya apalagi glamour, tapi karena apa adanya dia yang sederhana terlihat begitu sempurna. Ya, memang aku belum pernah melihat bidadari surga, tapi aku mendengar dialah wanita yang amat cantik dan saleha begitu pun ku lihat gadis desa Aqila. Kulitnya yang nampak berseri ditambah kain tebal yang selalu menutup seluruh tubuhnya, tidak terlihat kampungan tapi menunjukkan begitu salehanya dia. Senyum manis yang selalu ia tebarkan saat ia bertemu sesamanya, dia memang gadis yang sangat ramah.

Aqila azzahra nama yang tidak akan pernah ku lupa sejak aku pindah di desa kecil pinggir kota. Bukan karena keinginanku, tapi karena atasanku yang menginginkan aku pindah tugas di daerah seperti ini, karena aku adalah polisi. Hari itu pertama kali aku menginjakkan kakiku di desa ini, berjalan bersama Pak Lurah menuju rumah kecil tempat tinggalku. Aku melihatnya, gadis cantik berparas bidadari Aqila azzahra katanya. Senyum pertamanya membuatku tak ingin lepas memandangnya. Senyum kedua membuatku bodoh di hadapannya. Senyum ketiga membuatku semakin rindu. Senyum keempat, lima, dan entah hingga berapa membuatku hanyut dalam asmara, aku jatuh cinta.

Aqila azzahra, yang tak pernah bosan ku pandang. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumah kecilku bernaung. Setiap pagi sebelum adzan berkumandang suara merdunya selalu membangunkanku, tidak memanggilku tapi melantunkan ayat-ayat suci yang semula di kota tak pernah ku dengar, yang semula selalu ku tinggal. Dan di sini, gadis itu membiasakan telingaku mendengarnya mengaji setiap dini hari, setiap hari. Aku tak jenuh, bibirku semakin tersenyum lebar, ku temukan gadis luar biasa.

Aqila azzahra, setiap pagi ku berjumpa. Dia seorang guru dan aku seorang polisi. Dia menyapaku dengan salam dan senyuman, sementara hatiku selalu berteriak aku mencintaimu. Gadis itu tak menggubrisku, pandangannya selalu tertunduk saat di depanku. Mungkin itu perintah Tuhannya. Sesekali ku coba bertanya, dan dia menjawab hanya sekedarnya. Ah, aku tak biasa dengan rasa ini yang terus menghantui. Gadis itu yang mengajarkanku kesederhanaan, bukan hanya dalam hidup tapi dalam cinta. Cinta itu sederhana, cukup tersenyum dan Tuhan akan mendekatkan katanya.

Aqila azzahra semakin membuatku menggila tapi aku tak berkata, takut membuatnya jauh. Wajahnya semakin mempesona di hadapanku. Cantiknya bukan cantik biasa tapi cantik yang terpancar jauh dari hatinya. Suatu ketika aku bertanya padanya, “apa yang membuatmu berbeda? Kau terlihat sangat memesona? Padahal kau bukan satu-satunya wanita yang cantik?” Dia tersenyum sekali lagi jantungku berdebar begitu cepat. “Air wudhu yang ku basuh 7 kali sehari, 5 kali untuk salat fardhu, 1 kali sebelum tidur dan 1 kali sebelum tahajud. Yang membuatku segar, seperti tanpa beban. Yang kau bilang suaraku merdu karena aku terbiasa berseru dengan ayat-ayat al-qur’an.” Yang ke luar dari bibir tipisnya begitu menakjubkan.

Aqila azzahra, akhirnya aku belajar darimu. Belajar dengan kesabaran dan kelembutanmu. Belajar untuk mengingatNya, belajar menghargaiNya dan belajar mensyukuri hidup. Aku merasa jauh lebih berharga, setiap detik ku sebut namaNya, nama gadis itu juga. Setiap malamku pecah hening melantunkan ayat-ayatNya, memang tak semerdu suaranya, katanya karena aku belum biasa.

Aqila azzahra gadis saleha dan malaikat pelindungku. Sejak saat aku hampir mati ditabrak sebuah truk dia datang menyelamatkanku, tapi dia tidak selamat. Dia mendorongku ke tepi dan dia sendiri terpeleset hingga terlindas. Aku menjerit, bidadari itu telah kembali ke surga, menemani sang pencipta. Kini tak ku dengar lagi suara merdu yang membangunkanku, tak ku lihat lagi air wudhu yang mengalir dari parasnya yang cantik. Air wudhu yang membuatnya tampak seperti bidadari. 7 kali sehari air wudhu yang membasahinya membuat jantungku berdebar dan mataku terpana. Air wudhu yang merubah hidupku. Yang membuatku mengenalNya. membuatku merasakan apa itu jatuh cinta yang sesungguhnya. Air wudhu itu, air wudhu Aqila.