09 Juni 2022

Perjuangan Menghadapi Ancaman Disintegrasi Nasional

 

Konflik Pergolakan Yang Disebabkan Oleh Ideologi.

1. Pemberontakan PKI Madiun. 

Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut peristiwa madiun adalah pemberontakan komunis yang terjadi pada tanggal 18 september 1948 di kota madiun. Pemberontakan ini dilakukan oleh front demokrasi rakyat.

Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut. 

Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (sekarang Rusia) ini menjelaskan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional". 

Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerja sama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.[1] 

Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Surakarta, serta mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana. 

Mengetahui hal itu, pemerintah langsung memerintahkan kesatuan-kesatuan TNI yang tidak terlibat adu domba untuk memulihkan keamanan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto

Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota MadiunJawa Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah. Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh agama.

Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.

Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda, namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-kesatuan lainnya yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak akhirnya dapat dimusnahkan.

Salah satu operasi penumpasan ini adalah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Dalam peristiwa itu, Musso berhasil ditembak mati. Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Amir sendiri tertangkap di daerah GroboganJawa Tengah

2. Pemberontakan DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh Dan Sulawesi. 

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

 

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. 

 

4. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur. 

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia. 

 

5. Pemberontakan DI/TII Amir Fatah, di Jawa Tengah

Pemicu pemberontakan ini adalah kekecewaan Amir Fatah akan dominasi “kaum kiri” (sosialis dan komunis) di Tegal dan sekitarnya, wilayah basis kekuatan Amir Fatah. Akibatnya, Amir Fatah memberontak pada tahun 1950. Pemberontakan dipatahkan setelah operasi militer di wilayah Banyumas mengalahkan pasukan Amir Fatah 

 

6. Pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, di Sulawesi Selatan

Pemicu pemberontakan ini adalah tuntutan agar para milisi Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar bisa diterima sebagai tentara. Namun mereka tidak lolos syarat dinas militer, dan hanya ditempatkan sebagai Corps Tjadangan  Nasional (CTN). Akibatnya, Kahar Muzakkar memberontak dan menyatakan sebagai   bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. 

Pemberontakan ini berakhir setelah pada 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI.  

7. Gerakan G30S/PKI

Sebelum peristiwa G 30 S/PKI, pada tanggal 18 September 1948 PKI dibawah pimpinan muso dkk memproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia di madiun. Pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh TNI atau ABRI. Akan tetapi sepak terjang PKI tidak berhenti sampai disitu saja. PKI merupakan partai komunis yang tersebar di seluruh dunia, diluar Tiongkok dan Uni Soviet.

cita-cita untuk mendirikan negara Indonesia dengan landasan komunis mendorong terjadinya peristiwa G 30 S/PKI. Kondisi politik, sosial dan ekonomi Indonesia pada waktu itu memberi angin segar kepada PKI untuk meluaskan pengaruhnya. PKI mulai menebar janji-janji kepada masyarakat kecil bahwa mereka akan mendapatkan kesejahteraan yang lebih.

Tanpa mengetahui arti komunis yang sebenarnya, rakyat kecilpun terbujuk oleh PKI. Pengaruh PKI juga menyebar di berbagai macam kalangan, tidak terkecuali kalangan politik. Di kancah politih, organisasi yang anti-komunis, dianggap anti pemerintah sehingga PKI bisa dengan mudah menyingkirkan musuh politiknya.

Dalam dunia politik, PKI memilik kedudukan yang setara dengan angkatan darat, sehingga PKI menganggap angkatan darat merupakan penghalang utama dalam mewujudkan cita-citanya.

Setelah persiapan dianggap matang oleh para pemimpin PKI, maka mereka menentukan pelaksanaannya yaitu 30 September. Gerakan untuk merebut kekuasaan dari pemerintah RI yang sah ini didahului dengan penculikan dan pembunuhan terhadap jendral jendral TNI-AD yang dianggap anti PKI. Gerakan 30 September 1965 dipimpin oleh Letnan Kolonel untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal presiden.

Gerakan ini dimulai pada dini hari, tanggal 1 Oktober dengan menculik dan membunuh 6 perwira tinggi dan seorang perwira muda angkatan darat. Mereka yang diculik dibunuh di Desa Lubang Buaya sebelah selatan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma oleh anggota-anggota pemuda rakyat Gerwani dan Ormas PKI yang lain.

Ke-6 jendral yang dibunuh itu adalah Letnan Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral R. Suprapto, Mayor Jendral M. T. Haryono , Mayor Jendral S. Parman, Brigadir DI Panjaitan, Brigadir Jendral Soetoyo Siswomiharjo. Sementara itu gerakan 30 september telah berhasil menguasai 2 sarana telekomunikasi yakni studio RRI dan kantor PN telekomunikasi.

 

8. Operasi Penumpasan PKI 

Mendengar pembunuhan para jendral oleh PKI , pasukan TNI mulai bergerak dengan di pimpin dan Pangkostrad Mayjen Soeharto segera mengambil langkah-langkah dalam menaklukkan para PKI diantaranya : 

  1. Mengkoordinasi semua angkatan AD, AL dan POLRI
  2. Merebut daerah daerah yang di tempati para PKI Diantaranya RRI, gedung Telkom, Monas dan Istana Merdeka, Bandara Halim Perdana Kusuma
  3. Pencarian para senazah jendral para PKI 
  4. Operasi penumpasan G 30 S/PKI dilanjutkan ke daerah-daerah yang mendukung PKI seperti berikut.

 

Konflik Pergolakan Yang Berkaitan Dengan Kepentingan 

1. Pemberontakan APRA 

Pemberontakan APRA berawal dari hasil KMB atau Konferensi Meja Bundar dilaksanakan pada 1949 di Den Haag. Salah satu hasil KMB yang menggemparkan yaitu rencana pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS).

Tujuannya, Westerling bekerjasama Sultan Hamid II membentuk APRA demi melakukan kudeta terhadap pemerintahan RI.

Sultan Hamid II lebih condong terhadap aliran federal. Adapun kudeta dilakukan sebagai upaya mempertahankan bentuk negara federal RIS.

Sebab, negara bagian dalam RIS saat itu mau membubarkan diri dari negara kesatuan. Tetapi akhirnya negara bagian RIS bergabung kembali dengan RI.

Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar

Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, tetapi dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta. 

Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi. 

Namun upaya mengevakuasi Regiment Speciale Troepen (RST), gabungan baret merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." 

Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun. 

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan. 

Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel. 

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu. 

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda). 

 

2. Pemberontakan Andi Aziz

Pada 5 April 1950, terjadi pemberontakan Andi Azis di Makassar. Pemberontakan ini di bawah pimpinan Kapten Andi Azis, seorang mantan perwira KNIL yang baru saja diterima masuk ke dalam APRIS. Pasukan Andi Azis melakukan penyerangan serta menduduki tempat-tempat vital dan menangkap Panglima Teritorium Indonesia Timur Letnan Kolonel A.J. Mokoginta. Pemberontakan ini terjadi karena gerombolan Andi Azis menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dan TNI serta bertujuan untuk mempertahankan keutuhan Negara Indonesia Timur. Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan ultimatum pada 8 April 1950 yang memerintahkan kepada Andi Azis agar melaporkan diri serta mempertanggungjawabkan perbuatannya ke Jakarta dalam tempo 4 x 24 jam. Ia juga diperintahkan untuk menarik pasukan, menyerahkan semua senjata, dan membebaskan tawanan. Pada 15 April 1950, Andi Azis ditangkap. Pada 21 April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI.

 

3. Pemberontakan RMS 

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) terjadi pada 25 April 1959, dipimpin oleh Chris Soumokil, mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Pemberontakan ini berpusat di kota Ambon, dan pulau sekitarnya seperti pulau Seram.

Salah satu penyebab meletusnya pemberontakan RMS adalah banyak bekas prajurit KNIL (Tentara Kolonial Hindia Belanda) asal Maluku yang kecewa karena pengakuan kemerdekaan Belanda kepada Indonesia. Mereka juga menolak bergabung dengan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).

Hal ini ditambah dengan kekecewaan Chris Soumokil, akibat bubarnya Negara Indonesia Timur (NIT).

Soumokil dan para bekas prajurit KNIL ini membuat mereka menekan Kepala Daerah Maluku Selatan, Johannes Manuhutu, untuk mendeklarasikan kemerdekaan Maluku Selatan. Pada 25 April 1950, Manuhutu dibawah tekanan Chris Soumokil dan prajurit KNIL mendeklarasikan Republik Maluku Selatan.

Pemerintah Indonesia bertindak tegas dengan mengirim pasukan APRIS dibawah pimpinanl Slamet Riyadi dan Alex Kawilarang. Pada tahun 1950, Ambon dan Namlea berhasil direbut. Pada tahun 1963, Chris Soumokil berhasil di tangkap. RMS berhasil digagalkan dan para pendukungnya yang tersisa melarikan diri ke Belanda. 

 

Konflik Pergolakan Yang Berkaitan Dengan Sistem Pemerintahan.

1. Pemberontakan PRRI/ Permesta

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di PadangSumatra BaratIndonesia

Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, di mana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.[1] 

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan pemberlakuan otonomi daerah yang lebih luas. Ultimatum tersebut bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih merupakan protes mengenai bagaimana konstitusi dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca-agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa

Bibit-bibit konflik tersebut mulai terjadi sejak dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatra Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatra BaratRiau yang kala itu masih mencakup wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.[3] 

Bagaimanapun, pertentangan ini dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah pusat, yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan, dan kemudian ditumpas dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia. Semua tokoh PRRI adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI. Sebagaimana ditegaskan Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957; Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. 

PRRI adalah kepanjangan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dan PERMESTA kepanjangan dari Perjuangan Rakyat Semesta. Antara PRRI dan PERMESTA adalah dua-duannya merupakan bentuk pemberontakan yang dilatarbelakangi oleh adanya hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, terutama di Sumatera dan Sulawesi mengenai masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan anatara pusat dan daerah. 

PRRI terjadi pada tanggal 15 februari 1958, akhirnya dapat ditumpas, lalu pada tanggal 2 maret 1957 terjadi gerakan PERMESTA di sulsel, dan tgl 17 maret di sulut dan sulteng. Tapi, akhirnya dapat ditumpas

Jadi, PRRI dan PERMESTA adalah sebuah gerakan pemberontakan yang sama tujuannya, dan PERMESTA adalah lanjutan dari PRRI

2. Negara Federal dan BFO 

Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) adalah sebuah komite yang didirikan oleh Belanda untuk mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS) selama Revolusi Nasional Indonesia (1945–1949). Komite ini terdiri dari 15 pemimpin negara bagian dan daerah otonom di dalam RIS dengan masing-masing negara bagian memiliki satu suara. Komite ini bertanggung jawab untuk mendirikan pemerintahan sementara pada tahun 1948 sebagaimana dirumuskan dalam Persetujuan Meja Bundar. Sebagian besar perwakilan BFO berasal dari luar Jawa dimana kehadiran Partai Republik lebih lemah dan dukungan untuk negara-negara federal Belanda lebih kuat. 

Karena hubungannya dengan Belanda, BFO dianggap sebagai kolaborator oleh Republik Indonesia yang tidak mempercayai sistem federal dan menganjurkan suatu negara kesatuan Republik Indonesia. Menyusul aksi politik Belanda yang kedua pada bulan Desember 1948, BFO mendukung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa yang meminta pemulihan pemerintah Republik di Yogyakarta sebelumnya untuk terlibat dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia di Den Haag. Setelah pertemuan dengan pimpinan Republik yang dipenjara di Pulau Bangka dan sebuah serangan balasan Republikan yang sukses di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1949, BFO menjadi semakin kecewa dengan kekejaman Belanda dan menganjurkan masuknya orang-orang Republik dalam negosiasi dan sistem federal.